Layangan Pedot

Seratus delapanpuluh empat sentimeternya tersamar dengan mudah berkat jaket kulit hitam yang dikancing erat, tidak menunjukkan satupun tanda tanda pengenal apapun dalam selayang pandang. Meski fitur asianya cukup mencolok, di bawah timpa sinar yang remang, rokok di antara geligi menyembunyikan lekuk bibir yang terangkat naik.

Tidak selalu Sydney Cho dapat kesempatan untuk langsung turun di pekerjaan mereka. Benar, ia masih pemula, masih perlu banyak belajar, masih perlu mengekori Benedict Etoh kira kira satu-dua tahun ke depan sampai ia diperbolehkan membawa anak itik baru ke bawah lindungan sayapnya. Sebuah perputaran yang dengan lapang dada Sydney Cho jalani demi kemulusan karir kedepannya.

Maka, tak ayal ada sedikit gemas terpercik dalam dada. Ia tidak bisa kemana mana sebelum sang senior mengkomandonya untuk bergerak, isap demi isap memenuhi rongga dada sekalian membunuh waktu. Sydney Cho yang tak biasa merokok, mendapati kepul asap begitu distraktif. Beruntung belum rokoknya mengambil alih perhatiannya, sebuah sosok melintasi, berjalan cepat tanpa sibuk sibuk menoleh kanan kiri.

Dan semua orang tahu orang yang berjalan cepat adalah orang yang misterius. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk berjalan secepat itu, sedefensif itu, selain mereka punya rahasia.

Rahasia kecil dari Capadocia, maybe?

Setelah melempar putung rokoknya yang belum sepertiga dan melumatnya di ujung pantofel, ia mengikuti sosok lain yang kali ini dikenal baik. "Mmm, someone's in a hurry." Guraunya pada diri sendiri dengan suara tipis termakan angin. Knockturn alley selalu terasa berat, seperti ada energi yang menolak mereka.

"Oh, dia bertemu seseorang." Langkahnya dipelankan, mencipta jarak antaranya dengan sang senior. Menoleh kanan dan kiri melewati pundak tegapnya, ia memastikan mereka tidak diikuti siapapun. Penyergap haram untuk disergap, itu namanya bunuh diri.


( Benedict Etoh )