In the golden cage where the dead dreams resurrect

Berusia dua puluh tahun dan hidupnya dihabiskan berkubang di dalam gundukan dokumen yang dibawa pulang dari kementerian adalah Evander Farrow, seorang lulusan Durmstrang dua tahun silam. Pelipisnya berkedut-kedut, sementara pena bulu mahal di tangannya tidak berhenti bergoyang-goyang mengisi berbagai baris dan kolom pada selembar blangko laporan. Di hadapannya melayang beberapa carikan perkamen dengan tulisan tangan acak-acakan. Sesekali dia mengangkat wajah, memicingkan mata berusaha membaca, kemudian menunduk lagi untuk menulis kutipan catatan tersebut ke dalam blangko.

Evander menggeleng-geleng jengkel. Ini sudah tahun kedua pendidikannya sebagai auror dan masih saja dia disuruh-suruh menulis laporan resmi kegiatan atasan-atasannya di kantor. Di balik citra mereka yang glamor di lapangan para auror cenderung meremehkan laporan tertulis, sehingga tidak menulisnya sampai sumbu kesabaran bagian arsip meletup. Jadi, dengan berbagai alasan seperti latihan kerja dan menyiapkan calon auror untuk pekerjaan sungguhan, beberapa dari mereka dengan enteng melimpahkan pekerjaan tersebut pada calon auror. Itulah yang Evander lakukan berbekal catatan carut-marut dari mereka.

Satu titik terakhir dia bubuhkan dan dengan helaan napas berat pria muda itu beralih ke blangko selanjutnya. Tongkatnya diayun malas dan catatan yang melayang meluncur ke keranjang sampah, lantas digantikan catatan cakar ayam lainnya.

“Ke… onaran… di konser musik muggle… The Beatles… bulan Januari… tahun… 1966?!” Evander melempar pena bulunya, habis kesabaran. “Ini sudah tahun ‘67, demi kutang Nerida Vulchanova! Kenapa baru menulis laporan sekarang?!”

Tongkat sihirnya diacungkan penuh amarah, bersiap membakar dokumen-dokumen laknat tersebut, namun pada akhirnya diurungkan. Terkadang dia lupa saat ini telah hidup di dunia nyata dan bukan lagi di Durmstrang yang toleran akan luapan amukan serta letupan masa remaja.

Masih menggeleng-geleng, Evander mengayun tongkat untuk memanggil dekanter kristal berisi whiskey dari lemari kecil di dekat jendela. Baru separuh jalan melintasi ruangan, dia mendengar panggilan mengancam yang ambigu dari ibunya. Berpikir mungkin yang dimaksud adalah Ev-adne, dia menangkap dekanter tersebut dengan masa bodoh sambil membuka sumbatnya.

“Turun. Sekarang juga!”

Evander berdecak. Nada tajam itu sama sekali tak boleh diabaikan, terlepas siapa sasaran sebenarnya. Wajahnya masam saat meletakkan botol kristal itu sembarangan di atas dokumen. Kemudian dia berjalan lambat-lambat menuju pintu kamarnya yang tiba-tiba terbuka, menampakkan Evadne di baliknya. Sisanya, Evander pasrah digandeng turun.

Sumber masalahnya adalah sebuah paket berpita yang bertengger manis di atas meja, dengan kartu berinisial E. F. ambigu sebagai penanda identitas. Di sisinya, Eve yang manis menarik napas panjang, bersiap-siap memberikan pembelaan pada tuduhan tanpa kata dari tatapan tajam sang nyonya rumah.

“Aku tidak memesan barang apapun selama dua minggu terakhir,” didengarnya Eve menjawab dengan santun, sementara mata Evander lebih tertarik pada celah di sisi kotak dengan sesuatu yang nampak seperti satin dan renda menjuntai dari dalamnya. Jelas sekali bungkusan itu telah dibuka sebelumnya.

Waspada itu adalah artefak ilmu hitam, Evander mengacungkan tongkatnya dan memutarnya perlahan untuk mengeluarkan benda dari dalam kotak.

“Evan, kau yang lebih sering keluar selepas kerja. Kau beli apa sampai Ma marah?” Kini Eve ibarat melempar quaffle ke arahnya dengan genggaman tangan yang makin erat. Dahi Evan ikut berkerut, jengkel.

Tongkatnya disentak dan meliuklah keluar helaian satin hitam, dengan renda-renda menjuntai panjang, tumpah ruah seperti cairan beracun. Dahinya berkerut lebih dalam. Tatapan tajam sang ibu tidak lepas memandang kedua anaknya untuk menuntut jawaban, sementara gelungan kain itu menampakkan jati dirinya. Sehelai jubah renda, pada pandangan pertama, namun di baliknya ada sesuatu yang menyerupai korset bertulang tanpa tali yang transparan di sana-sini.

Itu adalah pakaian dalam yang amat, sangat, seksi.

“Mother,” panggilnya halus dan resmi. Dia menarik tangan dari genggaman Eve seolah habis menyentuh api. “Apa mungkin aku membeli hal… semacam ini?” Tatapannya dialihkan pada Eve. Bibirnya berkedut-kedut menahan tawa, namun segera disamarkannya dengan curengan galak.