A Walk Down the Memory Lane

Jurnal kecilnya bewarna merah muda. Di sana tertulis catatan humor yang ia kumpulkan dan nantinya akan ia sampaikan di bar-bar kecil untuk menghibur, sedangkan piringan hitamnya memutar humor Lenny Bruce sebagai bahan inspirasi. Rixxa—manajer setengah goblin-nya—menghitung penghasilan Chava selama seminggu terakhir, kemudian mengeluh, “Bisakah kau ganti lagu saja?”

“Kau ganti saja sendiri,” ucap Chava sambil menunjuk pada koleksi piringan hitam, kemudian memutuskan untuk istirahat sembari merokok.

Flat kecilnya berada di Whitechapel, dengan harga sewa murah karena ia seorang gadis Yahudi. Bukan flat mewah, tetapi setidaknya ia sekarang punya tempat tinggal sendiri di London. Bukan juga kehidupan gemerlap, tetapi Chava cukup menyukainya. Walaupun ia bukan benar-benar seorang bintang, setidaknya ia mendapatkan tepuk meriah dan tetap menjadi pusat perhatian.

Jantungnya mencelus saat mendengar lagu tersebut terdendang di dalam flatnya. Tubuhnya menegak, pandangannya tertuju pada Rixxa yang selesai mengganti piringan hitam.

“Tidak bisakah kau ganti lagu lain?”

“Kenapa?”

“Tidak, tidak, jangan lagu ini. Tolong matikan…”

“Lagunya cukup enak, oh, aku bisa berkonsentrasi mendengarkannya—“

“I said turn it off!”

Rixxa menatap keheranan pada Chava yang membentaknya.

“Ok ok I’ll turn it off, Merlin, what’s wrong with you?”

Apa yang salah dengannya? Karena ia pun terkejut pada sikapnya yang tiba-tiba berubah, namun ia tahu persis apa yang membuatnya membentak Rixxa.

“A—aku ingin cari angin, dan maafkan aku karena membentakmu tadi…”

Setahun, ia tahu bagaimana caranya melanjutkan kehidupan dan menyimpan memori tersebut di masa lalu. Atau sebenarnya belum, karena memori tersebut masih ada di dalam catatan merah mudanya. Sama dengan koleksi piringan hitamnya yang tidak pernah berkurang. Lagu-lagu dansa mereka masih tersimpan jauh di tumpukan belakang koleksi piringan hitamnya. Bahkan kisahnya masih ada dalam humor tentang bagaimana ia telah merelakan mimpinya untuk menjadi seorang aktris. Katanya, mereka orang Yahudi membalut seluruh luka oleh humor-humor dan menyajikannya di atas panggung.

Salah satu humornya adalah saat ia yang mencela dirinya sendiri karena sebuah penyesalan. Penyesalan akan perpisahan dengan pria yang ia cintai.




____________
Ezio Russo

Malam itu adalah malam kedua Chava berperan sebagai Anita. Gadis Puerto Ricco dalam drama musikal West Side Story, salah satu pencapaian terbesar dalam karirnya. Setelah tirai diturunkan, Chava dengan seluruh pemeran menuju ke atas panggung untuk mengucapkan terimakasih pada para penonton yang bertepuk tangan. Seharusnya ia merasa bangga akan dirinya, namun ada rasa pahit yang dirasakan saat ia memberi hormat. Pemeran Bernardo yang merupakan kekasih Anita enggan menggandeng tangan Chava saat mereka membungkuk di atas panggung, tetapi bukan itu yang membuatnya merasa kecewa. Sudah dua hari salah satu kursi VIP penonton yang dikhususkan untuk kekasihnya kosong.

Dua hari, Ezio tidak datang untuk menonton penampilannya, bahkan tidak muncul di belakang layar untuk memberinya selamat.

Ia membalas senyuman para penonton dengan terpaksa sebelum ia kembali ke belakang panggung. Sebelum ia duduk dan melepas wig dan riasan dengan warna yang lebih gelap, tangannya disambar oleh sang manajer dan keduanya keluar dari belakang layar.

“Sudah berakhir,” ucap manajer terburu-buru.

Chava mengernyit kebingungan, “Apa? Apa yang sudah berakhir?”

“Kau tidak perlu datang lagi besok…”

“Tidak mungkin, ini West Side Story. Premiere-nya seminggu penuh.”

Si manajer menatap Chava prihatin sekaligus tidak sabar, “Mereka tidak menginginkanmu lagi.”

“Apa maksudmu?”

“Oh ayolah… mereka tidak menyukaimu. Mereka sudah menemukan Anita baru untuk penampilan besok.”

Chava menatap manajernya tidak percaya, “Dan kau membiarkannya? Tugasmu adalah membiarkanku untuk tetap memerankan Anita, bukan membiarkanku dipecat!”

“Dan tugasmu adalah menampilkan Anita dengan memukau. Bukan berpenampilan buruk sehingga mereka memecatmu!”

Ucapan sang manajer menjadi tamparan keras untuk Chava. Namun Chava tetap keras kepala, “Bisakah kau memberi tahu mereka bahwa aku akan berusaha lebih baik besok? Aku janji. Aku akan berusaha penuh, aku tidak akan tidur untuk melatih kemampuan vokalku. Tolonglah…”

“Jujur padaku, Liebgott,” sang manajer mendekat, “bagaimana kau bisa mendapatkan peran Anita?” Chava tidak segera menjawab pertanyaan. Jeda tersebut membuat sang manajer menghela napas, “Sudah kuduga. Kau tidur dengan sutradaranya, kan, untuk mendapatkan peran?”

“Tidak. TIDAK! Aku—“

“Para casting director-nya tidak ingat mengapa mereka mencatat namamu sebagai Anita.”

Chava tidak bisa membela diri, karena faktanya ia tidak mendapatkan peran itu dengan cara jujur. Pun ia tidak melakukan apa yang baru saja manajernya tuduhkan padanya.

“Para kritikus baru akan datang besok. Kau tidak akan mau melihat namamu dilecehkan di seluruh surat kabar Inggris.”

Ia terlalu putus asa saat melakukan audisi. Mereka sama sekali tidak tertarik dengan gaun barunya atau pun kecantikannya. Maka ia melakukan Confundus saat audisi, membuat mereka mencatat namanya sebagai Anita. Karena ia harus membuktikan pada semua orang bahwa ia benar-benar bisa menjadi seorang aktris, bahwa mimpinya bukan sebuah omong kosong yang ia kumandangkan ke mana-mana.

“It’s over, Liebgott, go home…”


Ezio, baginya adalah rumah. Ia akan mengutarakan seluruh kesedihannya malam ini, dan Ezio akan mendengarkan tangisannya dan membuatnya beristirahat dalam pelukan sang kekasih. Rasa pahit yang muncul semenjak lelaki itu tidak datang tidak juga lenyap. Namun untuk Ezio, ia akan selalu punya toleransi lebih.

Sampai malam ini, saat Ezio datang dengan keadaan tak karuan, memeluknya sambil menangis. Chava tahu bahwa malam ini bukan malam di mana ia meminta Ezio untuk memeluknya. Tidak apa-apa, karena untuk Ezio, ia akan selalu punya toleransi yang lebih.

"Pergi denganku. Lupakan London. Lupakan mimpimu. Lupakan segalanya. Pergi denganku. Menghilang. Ke mana pun."

Di lain kesempatan, Chava akan menyambut ajakan Ezio dengan tangan terbuka, tetapi tidak malam ini.

Ia mundur selangkah, menyadari ruang antara keduanya, dan seluruh rasa khawatirnya sirna tergantikan oleh emosi yang lebih dari itu. Tatapan prihatinnya berubah saat ia menyadari bahwa ia teramat sangat marah. Ia marah pada ucapan manajernya, ia marah pada Ezio yang tidak muncul selama dua hari dan tiba-tiba datang dengan keadaan menyedihkan. Dari semua hal itu, ia teramat sangat marah terhadap dirinya sendiri yang melakukan kecurangan untuk menggapai mimpinya, dan kecurangannya gagal dalam waktu dua malam. Mimpinya kembali sirna.

Mimpi yang Ezio minta untuk lupakan.

“Kau seharusnya di West-End melihat penampilanku. Dua hari kau tidak datang dan tidak sedikit pun memberiku kabar.”

Ia selalu punya toleransi lebih untuk Ezio, tetapi tidak untuk malam ini.

“Sekarang kau berani-beraninya muncul dengan keadaan seperti ini, mengajakku untuk menghilang bersamamu?!”


Untuk kesekian kalinya Rixxa menawarkan Chava untuk tampil di sebuah bar di Hogsmeade, untuk kesekian kalinya pula Chava menolaknya. Termasuk saat Rixxa ikut bergabung dengan Chava yang merokok di undakan flat, memastikan Chava untuk menerima tawaran tersebut.

“Ini musim panas, Hogwarts sedang libur,” Rixxa ikut duduk dan merokok di sampingnya, gadis setengah goblin tersebut seperti sudah tahu isi pikiran Chava, “Aku yakin dia sedang tidak berada di sekitar Hogsmeade saat libur musim panas seperti ini. Ayolah, kau bahkan sudah punya tongkat baru, saatnya kembali…”

“Dia sedang di London kalau begitu…”

“Oh come on! He’s an ass, forget about him!” Rixxa menggerutu sebal sambil mengisap rokoknya, “Jangan lupa besok malam, kau akan tampil di Saffron Hill.”

Chava mengerjapkan mata, menatap Rixxa tidak percaya, “Apa katamu? Saffron Hill? Kau tidak pernah bilang aku akan tampil di sana!”

“Apakah kau pernah mendengarku sedikit saja, Chava?! Merlin! Orang-orang Italia itu sudah tidak sabar untuk melihat penampilanmu.”





____________
Ezio Russo